12/2/06

Petani, Nasib



Hingga memasuki usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 61 ini nasib petani kita tidak pernah berubah. Selalu melayani kepentingan orang lain. Pada jaman kemerdekaan dulu petani menjadi penyedia bahan makanan untuk para pejuang demi mengusir penjajah dan setiap panen harus menyetor sebagian padi kepada pemerintah Jepang. Kemudian setelah kemerdekaan berhasil direbut mereka dijadikan sebagai penopang program swasembada beras dan menjadi aktor penderita dalam berbagai kebijakan ekspor beras pemerintah. Kini di jaman reformasi masih juga “menyediakan” dirinya untuk kepentingan orang kota dan pengusaha.

Meski demikian para petani tidak pernah merasa menanamkan budinya. Mereka rela melakukan semuanya asalkan kelangsungan hidup bangsa dan negara terwujud. Sampai-sampai mereka tidak sempat memakan padi yang ditanam disawahnya. Sayangnya, perjuangan tanpa pamrih dan tidak kenal lelah ini tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Petani selalu saja menjadi kaum yang terpinggirkan. Selalu menjadi bahan olok-olokan, bahkan bersama nelayan sering dituding sebagai pemasok angka kemiskinan nasional terbesar. Dan karena kemiskinannya ini pulalah mereka selalu dijadikan sebagai komoditas pihak-pihak tertentu.

Saya jadi teringat dengan kejadian beberapa puluh tahun silam ketika pemerintah mencanangkan Revolusi Hijau atau program Bimas. Pada saat itu petani diagung-agungkan oleh pemerintah karena menjadi aktor utama dalam pembangunan bangsa. Tanpa peran serta petani maka negara Indonesia tidak akan ada artinya, begitu kira-kira bunyi propaganda pemerintah saat itu. Petani selalu dikatakan sebagai pahlawan pangannya bangsa. Semuanya itu tidak lain adalah agar para petani mau menuruti kemauan pemerintah untuk menyukseskan program panca usaha tani. Petanipun akhirnya termakan juga oleh hasutan ini. Akibatnya, sedikit demi sedikit para petani mulai aktif melaksanakan kebijakan baru dari pemerintah dan mulai meninggalkan kebiasaan lama dalam bertani mereka. Hasilnya sungguh luar biasa, dengan program itu pemerintah mampu mencapai surplus beras bahkan mampu menjualnya ke luar negeri.

Melihat hasil pertaniannya yang sangat menggiurkan tersebut kemudian para petani berlomba-lomba untuk menggenjot produksinya masing-masing. Berbagai carapun dilakukan, menggunakan berbagai jenis pupuk dan pestisida secara tidak beraturan dan berlebihan. Hal ini karena tingginya semangat swasembada pangan dan tidak adanya pemahaman yang tepat terhadap sistem pertanian yang baru tersebut. Sampai akhirnya datanglah berbagai malapetaka di dalam pola pertanian mereka. Berbagai hama tanaman baru bermunculan, tikus meraja lela, wereng menjamur, dan panenpun sering mengalami kegagalan. Yang tidak kalah dahsyatnya adalah petani telah mengalami kecanduan yang luar biasa terhadap produk-produk pabrikan. Ketergantungan tersebut hadir pada saat para petani benar-benar telah meninggalkan semua pola pertanian tradisional. Yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika petani benar-benar telah mabok kepayang dengan berbagai suplemen dari pabrik tersebut pemerintah justru menaikkan harga jual pupuk setinggi langit dan sulitnya mendapatkan barang-barang tersebut di pasaran.

Subsidi untuk pupuk petani tidak bisa ditambah karena alasan menipisnya kekayaan negara, dana sedang dipakai untuk membayar utang-utang luar negeri, untuk menyumbang konglomerat yang banknya kekurangan modal. Petani benar-benar sekarat. Nyatanya pemerintah tidak segera turun tangan, malahan sibuk memperjuangkan nasib para pengusaha dan pemilik modal besar. Bahkan pemerintah berani melukai hati para petani. lagi dengan mengimpor beras dikala petani sedang akan menikmati harga beras yang merambat naik. Dengan entengnya mengatakan kalau persediaan pangan nasional bakal segera habis padahal beberapa minggu lagi akan tiba masa panen raya.

* * *

Seperti tersadarkan atau karena keterpaksaan mendadak munculah kebijakan pemerintah yang cukup mengejutkan yaitu dicanangkannya Revitalisasi Pertanian pada Juni 2005 silam, juga pencanangan Go Organik 2010, dan juga terbitnya Inpres No 1 tahun 2006 dan Perpres No 5 tahun 2006 tentang Biodiesel. Katanya, program-program tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki nasib para petani di Indonesia. Para petani akan diajak pemerintah untuk meningkatkan kualitas serta hasil pertaniannya dengan berbasiskan masyarakat dan lingkungan, menciptakan daya saing hasil pertanian di luar negeri, yang ujung-ujungnya akan memperbaiki kondisi sosial ekonomi petani khususnya.

Kita berharap semoga saja program-program ini bukan sekedar wacana saja. Saat ini tantangan terberat dari pemerintah sebenarnya terletak pada perilaku masyarakat petani kita yang sudah terpola dan terbiasa dengan hasil yang cepat diraih. Padahal program-program seperti itu kalau tidak salah memerlukan waktu beberapa tahun untuk mencapai hasil yang diharapkan. Pada tahun-tahun pertama akan penuh dengan perjuangan bahkan mungkin juga akrab dengan kegagalan. Kira-kira sudah siapkah pemerintah menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Kejadian seperti revolusi hijau dahulu yang hanya menciptakan ketergantungan mutlak dari petani jangan sampai terulang kembali. Kesiapan tenaga ahli, masyarakat sasaran, sarana serta infrastruktur pendukungnya harus benar-benar optimal. Kini semuanya kembali lagi kepada pemerintah. Apakah pemerintah memiliki komitmen untuk memperjuangkan nasib petani atau tidak? Ataukah pemerintah hanya berusaha untuk memenuhi tuntutan kalangan tertentu dan kembali akan lepas tangan ketika terjadi pengalaman yang buruk? Meski demikian, agaknya kita juga perlu mendukung dan mengawasi program tersebut agar berjalan pada lintasan yang tepat.







Pendidikan Kehumanisan



Seperti biasa, setiap tahun selalu saja terjadi kepanikan dan kebingungan dari para lulusan SMU di Indonesia. Apa lagi kalau bukan kebingungan terhadap nasib mereka selepas SMU, hendak melanjutkan ke mana? Kerja atau kuliah, kalau mencari kerja hanya dengan mengandalkan ijazah lanjutan saja mana bisa, namun kalau memilih kuliah akan tambah bingung lagi. Kebingungan ini tidak hanya menimpa mereka yang kemampuan akademisnya minim tetapi juga mereka yang mempunyai nilai akademik tinggi, kebingungan juga bukan hanya milik mereka yang tidak mampu ekonominya, yang mampupun mengalami kejadian yang serupa. Para lulusan yang tidak pandai atau yang kemampuannya pas-pasan akan kebingungan pula mencari universitas mana yang bisa menampung mereka, sementara para lulusan yang pandai lagi-lagi kebingungan akan memilih dimana diantara beberapa kampus yang telah menerima mereka. Bagi yang tidak mampu ekonominya tidak kalah kelabakannya mencari tempat pendidikan yang murah dan yang kaya kebingungan menentukan berapa uang yang akan disumbangkannya.
Di balik kebingungan-kebingungan itu ada fenomena yang menarik yang perlu mendapatkan perhatian banyak pihak. Banyak lulusan mempunyai kemampuan akademik bagus melakukan pendaftaran ujian masuk di beberapa universitas lagi padahal sebelumnya sudah diterima pada jurusan dan universitas yang mereka inginkan, selanjutnya saya sebut Petualang Sekolah. Berbagai alasan dikemukakan menyangkut tindakan mereka itu. Rata-rata mereka ingin coba-coba, ingin menguji kemampuan, dan ingin menunjukkan kalau dirinya mampu melakukan apa saja. Tindakan tersebut saat ini semakin menjadi-jadi terutama setelah beberapa universitas membuka ujian masuk lokal (ujian sendiri). Adanya program ini seolah menjadi angin surga bagi para petualang sekolah ini. Semakin menciptakan rasa penasaran mereka untuk mencoba dan mencoba.
Tindakan tersebut secara sekilas kelihatannya bukan merupakan masalah yang serius. Akan tetapi apabila diperhatikan secara seksama maka akan terlihat adanya cacat pendidikan, adanya perampasan hak untuk memperoleh pendidikan. Dalam kasus tersebut mengakibatkan banyak lulusan SMU yang terampas haknya untuk menikmati pendidikan tinggi yang mereka inginkan. Karena secara sadar atau tidak para petualang sekolah ini telah menutup peluang bagi lulusan lainnya yang belum diterima. Coba-coba atau uji kemampuan bagi para petualang sekolah berarti hilangnya kesempatan orang lain yang sangat menginginkan jurusan tersebut. Apakah ini bukan kejahatan moral?
Melihat kondisi tersebut nampaknya pada saat ini perlu dilakukan perubahan kurikulum pendidikan yang berlaku di Indonesia, salah satunya dengan mencantumkan materi kehumanisan. Atau paling tidak terdapat materi yang mampu membangkitkan rasa kemanusiaan bagi siswa didik. Meskipun saat ini sudah ada PPKN dan Pendidikan Agama, namun nampaknya keduanya belum mampu mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan adanya materi kehumanisan diharapkan siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi akademik tetapi juga diharapkan bisa menjadi seorang yang pandai dan berjiwa sosial. Terutama sekali pada sekolah-sekolah yang berkategori favorit karena tempat tersebut adalah tempat yang paling rawan terhadap praktek-praktek petualangan sekolah. Apabila tidak diatasi sejak dini maka dikhawatirkan tindakan tersebut akan semakin memperparah kehidupan bangsa Indonesia yang akan datang. Banyaknya kasus kejahatan, korupsi, dan terorisme juga sebagai akibat dari gagalnya pemahaman pelajar terhadap masalah kemanusiaan, dengan kata lain pemahaman tentang pendidikan kehumanisan belum ada hasilnya.
Keberhasilan pendidikan humanis akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Antara masyarakat yang satu dengan yang lain akan saling menghargai, saling menghormati, pengertian, tidak melanggar hak orang lain. Apabila ini bisa diterapkan dengan baik maka secara perlahan dan pasti saya yakin bangsa Indonesia akan mampu membangun negaranya dengan baik. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi masyarakatnya. Alangkah indahnya impian ini.
bagi anak sekolah
Sayangnya mereka tidak mempertimbangkan sisi humanis dan asas pemerataan. Yang menjadi masalah adalah alasan
dan rata-rata mereka berasal dari sekolah favorit melakukan pendaftaran di beberapa jurusan berbeda. Di sebuah sekolah favorit di bilangan Yogyakarta
Sudah iterima tetapi masih juga daftar dan tidak diambil

PRA untuk DBD


Masyarakat dan pemerintah kembali menjerit-jerit lagi menghadapi serangan penyakit Demam Berdarah (DB). Padahal serangan seperti ini sudah memiliki jadwal reguler tiap tahunnya. Anehnya DB tidak pernah mendapatkan penanganan yang tepat setiap kali muncul. Penangannya selalu saja berkisar pada kegiatan Fogging, opname dan pemberian obat. Tindakan tersebut sebenarnya bukanlah metode yang ampuh untuk mengatasi penyakit DBD untuk jangka waktu yang panjang.
Tindakan-tindakan medis semacam itu hanya cocok untuk kepentingan sesaat semata. Untuk jangka panjang justru merugikan pemerintah sendiri, karena hal tersebut akan semakin melanggengkan sifat ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu dalam jangka panjang masyarakat juga tidak akan pernah mau berpikir bagaimana melakukan tindakan pencegahan dan penanganan sendiri. Sayangnya, meski cara-cara tersebut terbukti tidak cukup ampuh namun masih saja selalu dipaksakan untuk dilakukan.
Siapapun tahu bahwa selama ini masyarakat selalu dijadikan sebagai obyek dari pemerintah. Ketika muncul serangan Demam Berdarah masyarakat harus buru-buru mendatangi pusat-pusat kesehatan, harus opname, harus ini harus itu dan sebagainya. Akibatnya semakin lama masyarakat menjadi semakin terbiasa untuk berposisi sebagai sasaran tembak, diam dan tidak mempunyai kesempatan untuk berkreasi. Mereka selalu diposisikan menjadi pasien yang tidak boleh menolak segala yang dikatakan oleh dokter. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep pembangunan bangsa yang mandiri yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Tidak ada salahnya apabila pemerintah mencoba menggunakan metode lain yang lebih berwawasan kemasyarakatan. Kenapa kita tidak mencoba membalik paradigma ini. Yakni menempatkan masyarakat sebagai ujung tombak pemberantasan DBD.
Untuk itulah kiranya sangat penting bagi kalangan yang merasa dirinya sebagai ahli DB bisa menahan diri sebentar. Tidak tergesa-gesa mengambil keputusan-keputusan dan tindakan yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Posisi masyarakat mulai sekarang harus diubah dari peran sebagai Obyek menjadi subyek. Sementara itu para ahli dari luar masyarakat sebaiknya cukup berperan sebagai fasilitator dan pendamping.
Salah satu alternatif yang bisa dikembangkan pemerintah adalah melalui pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). Yakni mengubah paradigma production centered development menjadi people centered development. Pendekatan ini tidak bisa berdiri sendiri, namun merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang erat. PRA menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan secara langsung. Tujuannya adalah memposisikan masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan sekaligus sebagai pelaksana program. Fungsinya adalah untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian berdasarkan pengamatan, interpretasi dan pemikiran masyarakat setempat.
Dalam pemberantasan terhadap Demam Berdarah ada banyak cara yang bisa dilakukan. Pertama adalah menggali pemikiran masyarakat tentang berbagal hal yang berkaitan dengan penyakit DB melalui metode Diagram Venn. Semua hal yang berhubungan dengan DB akan mampu terekam di sini, mulai dari penyebab-penyebabnya, sifat penyakitnya, cara pengobatannya, cara penularannya, sampai dengan pengetahuan terhadap obat-obat lokal maupun obat modern yang biasa digunakan masyarakat setempat. Diagram Venn akan sangat berguna bagi kalangan petugas kesehatan untuk menganalisa pengetahuan masyarakat terhadap DB. Sehingga hal-hal yang tidak sesuai dengan penanganan DB pada lain waktu bisa ditindak lanjuti.
Kedua Mapping, masyarakat diajak untuk menggambarkan peta wilayah dan peta sosial yang ada di lingkungan mereka masing-masing. Metode ini akan menghasilkan sebuah peta fisik maupun sosial yang sangat jelas. Nantinya akan berguna bagi pengisolasian ataupun penanganan secara khusus tempat-tempat yang dicurigai sebagai sumber penyebaran DBD. Dalam waktu relatif singkat sarang nyamuk, tempat nongkrong, pusat kesehatan, pusat layanan umum, letak rumah (bidan, Jumantik, dokter), letak rumah penderita DB akan ditemukan.
Setelah dua kegiatan di belakang meja dilakukan maka kini masyarakat diajak untuk melakukan transect walk. Kegiatan ini berfungsi untuk mengetahui secara defacto wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi menjadi penyebab muncul dan berkembangnya DB. Sehingga masyarakat secara tepat mereka akan mengetahui wilayah-wilayah yang sebelumnya pernah mereka gambarkan dalam teknik mapping. Hal ini sangat penting karena peserta transect akan melihat secara langsung apa yang ada di sekelilingnya. Dan mereka kemudian bisa mendiskusikan bersama dengan warga lain tentang berbagai hal yang mereka temui. Hingga akan diambil suatu tindakan yang tepat apabila ditemukan sesuatu yang menarik.
Kelima, menyusun Aktifitas Harian, masyarakat (peserta diskusi) diajak untuk menuliskan kegiatan rutin yang biasa mereka dilakukan. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang akurat berkaitan dengan waktu-waktu luang mereka. Hal ini akan berguna untuk mencari waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak warga. Terakhir adalah Skala Prioritas atau matrix ranking, seperti kegiatan lainnya bahwa teknik ini juga melibatkan sekelompok orang. Dalam matrix ranking masyarakat diajak untuk membuat urutan prioritas kegiatan yang akan mereka lakukan untuk memberantas penyakit DB dalam jangka waktu tertentu. Dalam langkah ini masyarakat akan melakukan perdebatan yang terbuka, jujur, obyetif, dan demokratis mengenai rencana apa saja yang akan mereka lakukan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya campur tangan dari pihak luar.
Dengan menggunakan model pendekatan yang pertama kali dikembangkan oleh Chambers ini diharapkan masyarakat akan mampu melakukan apa yang dianggap terbaik untuk mereka sendiri. Kegiatan ini akan dapat berjalan dengan baik karena semua kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Setelah menyelesaikan satu tahapan PRA maka masyarakat akan dengan mudah mendeteksi, mencegah dan mengatasi penyakit DBD yang sangat menakutkan dengan sendirinya. Pendekatan ini tidak layak dilakukan untuk tujuan pendek dan sesaat. Apalagi untuk tujuan formalitas dan sekedar untuk menghabiskan sisa anggaran saja.
Menariknya dari pendekatan ini adalah bahwa masyarakat tidak merasa digurui. Merekapun diajak untuk memikirkan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan penanganan DB sesuai dengan potensi lokal yang dimilikinya. Peran orang luar dalam kegiatan ini sangat kecil sekali, sehingga masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab penuh terhadap pogram yang mereka munculkan sendiri. Akibatnya masyarakat benar-benar merasa diuwongke dan merekapun dengan sangat antusias mensukseskan program –program tersebut.
Model penanganan penyakit jenis ini dibutuhkan kerjasama lintas sektoral yang kuat. Seperti Dinkes, Dinas Kehutanan, Kepolisian, Perikanan, Pertanian, Ulama, Tokoh Masyarakat, Kecamatan, LSM, Peneliti, Pekerja sosial, dan yang paling penting adalah masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat perlu dimaksimalkan dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Karena disadari atau tidak masyarakatlah yang berkepentingan langsung. Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tidak bisa dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang mengaku ahli DB. Karena terkadang pengetahuan seperti ini mampu mengatasi berbagai permasalahan dengan tepat. Biasanya pengetahuan tersebut berupa kebiasaan-kebiasaan tradisional yang sangat arif.




Potensi Sampah


(dari )Membuang (menjadi) Mengelola Sampah
Persoalan sampah semakin hari terasa semakin kuat mencengkeram bangsa kita. Mulai dari permasalahan pembuangannya yang tidak teratur, pemilihan lokasi TPA/TPS yang tidak tepat, perilaku masyarakat yang sangat tidak peduli, sampai dengan minimnya perangkat hukum khusus yang mengaturnya. Semua kondisi di atas pada akhirnya akan berujung pada satu hal yakni semakin menggunungnya tumpukan sampah di berbagai wilayah di Indonesia. Munculnya beragam permasalahan yang diakibatkan oleh sampah tersebut sebenarnya hanya berawal dari satu kesalahan yakni selama ini kita memandang keberadaan sampah sebagai barang yang musti dibuang.
Di manapun tempatnya, apakah di kota besar atau kecil, di desa maupun di kota, orang tua maupun anak-anak hampir semua memperlakukan sampah secara seragam dengan menjadikannya sebagai barang yang berbahaya dan harus segera dilenyapkan. TPA/TPS seolah-olah sudah menjadi tujuan akhir yang tidak boleh di utak-atik lagi, semua sampah larinya harus ke sana. Menjadikan TPA/TPS sebagai tujuan akhir sampah adalah sah-sah saja, namun kita juga tidak boleh lupa bahwa model penanganan seperti ini tidak jarang menimbulkan permasalahan baru. Selain menimbulkan pencemaran lingkungan dan udara yang luar biasa, sebagai sumber penyakit bagi masyarakat sekitarnya, juga sering dijadikan tempat membuang orok. Bahkan timbunan sampah yang sudah menggunung bisa sama berbahayanya dengan bencana tanah longsor yang bisa merenggut nyawa manusia (kejadian di Leuwigajah beberapa waktu lalu). Kondisi tersebut akan semakin menjadi-jadi kalau sistem pengelolaannya dengan open dumping. Padahal sebagian besar kota Indonesia menggunakan model seperti itu. Jadi….tidak bisa disalahkan kalau kemudian warga Bojong menolak sampah dari Jakarta meskipun di penanganannya tidak akan menggunakan model itu.
Persepsi masyarakat terhadap buruknya sampah dan bencana-bencana yang menyertainya selayaknya sudah tidak boleh ada lagi saat ini. Cukuplah sudah bangsa Indonesia merasakan dahsyatnya bencana alam saja. Untuk itu mulai sekarang marilah kita mencoba untuk mengubah sikap kita dalam menghadapi sampah. Konsep membuang sampah yang selama ini menguasai benak kita perlu segera diubah. Persepsi masyarakat yang memaknai sampah sebagai barang yang tidak berguna seyogyanya segera dikikis habis. Kita harus mengubah konsep membuang sampah menjadi memanfaatkan atau mengelola sampah. Artinya, sampah bukan untuk dibuang, tetapi musti diperlakukan layaknya barang tambang lainnya. Seperti minyak mentah yang kelihatan sangat kotor dan menjijikkan, namun setelah melalui sebuah proses pengolahan akhirnya bisa berubah menjadi premium, solar, lilin, aspal dan sebagainya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Demikian pula halnya dengan sampah yang terlihat seperti onggokan sumber penyakit kalau diolah dengan baik akan menghasilkan pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi alam dan kesehatan manusia.
Kedua, pemerintah, ulama dan juga aktifis lingkungan perlu mengubah slogan-slogan terhadap sampah. Tidak lagi mengampanyekan “Buanglah Sampah pada tempatnya” atau “Jangan Membuang sampah Sembarangan”, namun harus mengubahnya menjadi “Mari Memanfaatkan Sampah dengan Baik” atau “Sampah Sumber Kesehatan Alami” dan lain sebagainya. Disamping itu slogan-slogan yang berupa larangan maupun ancaman sebaiknya diganti menjadi himbauan serta ajakan. Meskipun terkesan sangat sepele namun slogan-slogan seperti itu sangat mengena di hati masyarakat dan mudah diingat.
Ketiga, penyediaan tempat dan piranti pengelolaan sampah yang terpadu. Alternatif ini seyogyanya dimiliki oleh wilayah-wilayah perkotaan padat penduduk dan berlahan sempit. Teknis pengelolaannya bisa melibatkan masyarakat secara langsung dengan sistem gotong royong maupun sistem upahan. Yang ditekankan disini jangan sampai masyarakat hanya diajarkan cara membuang sampah saja, namun mereka juga mesti memiliki andil serta tanggung jawab dalam pengelolaan sampah sampai tahap akhir. Yang terjadi selama ini adalah tidak adanya keterlibatan dari masyarakat. Dimana masyarakat diperlakukan dengan sangat manja, setiap bulan hanya diwajibkan membayar sejumlah uang restribusi maka urusan sampah dari depan pintu rumah sampai di TPA/TPS menjadi tanggung jawab pemerintah. Model pengelolan seperti itu kalau dijalankan terus akan menciptakan tabiat dan perilaku yang tidak baik bagi bangsa ini. Masyarakat tidak akan pernah mau berpikir dan belajar untuk menangani sampah secara baik. Mereka selalu mengandalkan uluran tangan dari pemerintah. Sehingga selamanya tidak akan peduli dengan bahayanya sampah yang dihasilkannya setiap hari.
Terakhir, perlu segera disusun Undang-undang ataupun peraturan hukum lainnya tentang pengelolaan sampah secara khusus. Kebanyakan peraturan-peraturan yang ada, khususnya perda-perda, tentang penanganan sampah tidak berdiri sendiri. Bahkan ada daerah-daerah tertentu yang tidak memilikinya. Keberadaan Naskah Akademis RUU Pengelolaan Sampah serta masukan dari berbagai LSM tidak boleh diremehkan dan bisa dijadikan salah satu masukan bagi peraturan yang akan disusun. Semua hal di atas tentunya bukan dimaksudkan untuk mengejar penghargaan-penghargaan adakn kebersihan, namun harus dikembalikan pada tujuan utama yaitu perubahan pemahaman masyarakat terhadap sampah yang pada akhirnya akan menuju pada sebuah masyarakat mandiri yang mampu mengelola sampah tanpa gejolak. Sehingga dana yang mencapai miliaran rupiah atau lahan pembuangan sampah yang menembus puluhan hektar bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Semoga dengan pendekatan seperti ini sepuluh tahun kedepan anak cucu bangsa Indonesia tidak mengalami hidup di Republik Sampah lagi. Insya Allah.

Pornografi: Rendahnya Penghargaan Terhadap Kyai


Pornografi: Rendahnya Penghargaan Terhadap Kyai
Minimnya penghargaan masyarakat dan pemerintah terhadap peran kyai/ulama merupakan sumber utama dari penyakit masyarakat yang semakin menggelontor kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Peranan yang sangat vital dari seorang ulama atau kyai tidak mendapatkan sebuah imbal balik yang layak. Imbalan berupa pemenuhan kebutuhan materi dan jaminan keamanan tidak sedikitpun menyentuh aspek kehidupan mereka. Bisa dikatakan bahwa semua yang didapatkan para tokoh agama ini dapat dikatakan jauh dari sebutan layak. Kita tidak boleh memungkiri bahwa terpenuhinya kebutuhan hidup saat ini merupakan satu hal yang sangat vital bagi kelangsungan perjuangan mereka.
Seperti halnya dengan makhluk hidup lainnya, kyai/ulama juga memerlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis yang tidak dapat dikesampingkan. Ketika kebutuhan biologis para kyai belum terpenuhi maka selama itu pulalah mereka akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya terlebih dahulu baru kemudian memikirkan kepentingan umat. Disadari atau tidak bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut mutlak diperlukan. Siapa orangnya yang mau berjuang untuk kepentingan masyarakat sementara keluarganya terancam keamanannya dan perutnya masih merasa kelaparan.
Kondisi seperti ini bisa mendorong terpecahnya fokus perjuangan kyai. Pada satu sisi dia harus berjuang demi kepentingan umatnya namun di sisi lain diapun harus berjuang demi kelangsungan hidup keluarganya. Terbelahnya konsentrasi perjuangan tersebut mengakibatkan munculnya ketidaktotalan mereka dalam melaksanakan jihadfisabilillah, yaitu membangun moral bangsa. Peran pembentukan mental masyarakat yang seharusnya berada dipundaknya menjadi terberaikan. Akibat yang paling dirasakan masyarakat kemudian adalah tidak maksimalnya fungsi kontrol kyai. Dengan kata lain bahwa para kyai belum berhasil melaksanakan tugas mereka sebagai guru bangsa.
Ketidakmampuan kyai/ulama ini kemudian menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka menjadi turun. Hal yang tidak bisa dihindari selanjutnya adalah munculnya “pembangkangan” terhadap fatwa kyai/ulama di sana-sini. Perkataan dan seruan kyai sudah bukan lagi menjadi obat penyembuh dikala sakit, bukan pula air penyejuk dikala terik mentari, dan tidak pula mampu menjadi payung disaat hujan. Hampir-hampir tidak terasakan lagi keberadaannya, ada atau tidak ada seorang kyai kondisinya tetap saja sama. Bahkan seringkali mereka dianggap sebagai duri dalam daging.
Berbeda dengan puluhan tahun silam, dimana peran kyai masih sangat mutlak dibutuhkan. Apa yang disabdakan akan segera diikuti oleh masyarakat. Karena pada saat itu pekerjaan seorang kyai bisa terfokus pada pembenahan mental dan peribadatan kepada Tuhan. Kyai tidak perlu repot-repot memikirkan kelangsungan hidup mereka dan keluarganya. Kebutuhan sehari-hari dengan sendirinya telah terpenuhi berkat pemberian masyarakat secara cuma-cuma. Ibaratnya ketika kyai ingin makan tidak perlu menanam padi, ingin pergi ke luar daerah tidak perlu membeli bensin, ingin menjenguk kerabatnya yang sakit tidak usah membeli oleh-oleh, semuanya tersedia dengan sendirinya dan tentu saja tidak mengeluarkan biaya.
Berbagai fasilitas yang didapatkan para kyai pada masa itu memang sangat layak mereka terima. Mereka memperolehnya tidak dengan mudah karena harus melalui suatu proses yang sangat sulit. Mulai dari nyantrik ke berbagai pesantren ,yang memakan waktu sampai belasan tahun, hingga membuka wilayah yang terpencil untuk dijadikan sebuah pusat peradaban baru. Berbagai pengalaman hidup yang lengkap dengan amalan-amalan ketauhidan dipelajari selama menjadi santri di berbagai pondok, untuk kemudian diterapkan pada saat berhadapan langsung dengan masyarakat. Predikat kyai/ulama yang disandangnya ini menunjukkan kematangan berfikir dan berserah diri kepada Tuhan. Tidak seperti jaman sekarang, banyak orang yang menyebut dirinya kyai namun tidak faham dengan apa yang yang harus dikerjakannya sebagai kyai.
Masyarakat pada masa itu sangat merasakan keberadaan para kyai dan ulama. Segala persoalan hidup bangsa saat itu mampu dipecahkan dengan gemilang berkat bantuan para kyai. Mulai dari urusan keluarga, peribadahan, sampai pada hubungan kemasyarakatan. Sosok kyai menjadi sosok yang sangat sentral dalam penyelesaian berbagai masalah yang berkembang di masyarakat. Bahkan bisa dikatakan tidak ada masalah yang tidak mampu diselesaikan kyai/ulama.
Kini ketika jaman telah mengalami pergeseran dari tradisional menuju modern peran kyai-ulama terasa semakin terpinggirkan. Banyak contoh kasus yang terjadi, sebut saja perpecahan yang terjadi dalam muktamar NU beberapa waktu yang lalu. Peran kyai sudah tidak lagi bisa dijadikan pengayom dan tempat berkeluh kesahnya masyarakat. Apalagi para kyai kini banyak yang memposisikan diri sebagai pendukung bendera-bendera tertentu. Tidak lagi murni membawa kepentingan masyarakat umum. Hal ini hanya menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin menurun dan terus menurun.
Apakah semua murni kesalahan para kyai? Tentu saja bukan. Pergulatan untuk bertahan hidup di jaman yang semakin sulit membuat mereka harus mengambil pilihan-pilihan yang sulit. Pada satu sisi para kyai dituntut harus mampu menjaga integritasnya, namun disisi lain merekapun harus tetap berjuang agar hidupnya tidak kacau. Bukan sesuatu yang salah kalau mereka kemudian merasa perlu untuk duduk di belakang bendera tertentu. Posisi ini membuat tingkat kehidupannya menjadi sedikit lebih layak atau paling tidak mendapat kesempatan yang lebih baik meskipun harus rela mengorbankan nama baiknya.
Turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para kyai menyebabkan renggangnya hubungan keduanya. Sehingga fatwa-fatwa yang dahulu merupakan sabda pandita sabda ratu kini menjadi lolongan anjing yang kelaparan. Masyarakat enggan mendengar apalagi mentaati apa yang dikatakan kyai-ulama. Perkataan para kyai dianggap sebagai sampah yang hanya mengotori saja. Masyarakat menganggap Fatwa-fatwa kyai bukan lagi ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan melainkan hanya sebuah pesanan dari kalangan tertentu. Label maju tak gentar membela yang bayar semakin melekat pada diri kyai.
Disamping itu, rendahnya minat masyarakat terhadap para kyai belakangan ini juga disebabkan oleh tidak mampunya kyai/ulama menjelaskan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat modern. Petuah-petuah dari kyai sudah dianggap out of date. Setiap mengeluarkan pernyataan bukannya ketenteramkan yang didapat, namun justru keruwetan yang dipetik. Peran sebagai pengayom masyarakat tidak lagi bisa disandangnya karena penyampaiannya yang serba mengambang dan tidak jelas.
Seorang kyai kini dituntut untuk tidak bertele-tele dalam menjelaskan permasalahan umat. Solusi-solusi yang praktis dan mudah dilaksanakan sangat dibutuhkan. Kyai/ulama dituntut untuk mampu menjelaskan sebuah jalan untuk meghindari stress, menumbuhkan semangat bagi orang yang putus asa, bagaimana menjadikan seorang insan yang berjiwa mandiri, serta bagaimana melakukan hubungan dengan Tuhan secara efektif. Sudah tidak jamannya lagi kalau terlalu sibuk memperdebatkan jumlah rekaat sholat tarawih, perbedaan penggunaan doa qunut, tradisi tahlilan, permulaan puasa, atau pelaksanaan Idul fitri. Meski demikian tentunya penjelasan tersebut harus tetap dalam kerangka hukum yang jelas. Penjelasan yang rumit dan tidak masuk akal hanya akan menjadi sebuah tumpukan buku teori yang tidak akan pernah ada orang yang mau membaca.
***
Mau tidak mau kyai kini harus belajar lagi bagaimana menjadikan urusan yang sulit menjadi mudah dilaksanakan. Menafsirkan ayat-ayat yang bias menjadi sebuah paparan pengetahuan yang mudah dimengerti semua lapisan masyarakat. Semua ini bukan perkara yang mudah bagi kyai apalagi bagi mereka yang memiliki latar belakang kerangka berpikir tradisional. Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta pemerintah. Pemerintah hendaknya memfasilitasi para kyai agar mampu membaca fenomena-fenomena kehidupan modern. Misalnya dengan melalui pengenalan terhadap media komunikasi, tehnologi, ilmu psikologi dan tentu saja tafsir-tafsir kitab dari tokoh-tokoh modern. Pemberian kemampuan berkenaan dengan kehidupan modern ini akan mampu menempatkan seorang kyai/ulama menjadi tokoh yang menguasai hukum-hukum syar’i sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan jaman.
Apabila kemampuan kyai/ulama sudah seperti diatas maka Insya Allah masyarakat Indonesia akan kembali memperhitungkan keberadaan mereka. Secara otomatis pula penghargaan yang tinggi dari masyarakat akan datang dengan sendirinya. Artinya bahwa laju penyakit moral bangsa ini bisa dikurangi bahkan mungkin diredam. Hal ini tentu saja membutuhkan kerelaan dari semua pihak terutama kyai apakah mereka mau (berubah), pemerintah (apakah mau merubah) dan tentunya masyarakat (apakah mau diubah).
Jogja, awal 2005

Hantu: Kontrol Sosial

Hantu: Alat Kontrol Sosial
Perbincangan masyarakat dan para ahli mengenai maraknya tayangan mistik (khususnya makhluk halus) di berbagai media massa di Indonesia kian hari-kian terasakan. Tua muda, besar kecil, laki perempuan ramai memperbincangkan bagaimana ngerinya wajah seorang perempuan tanpa raut muka yang beberapa waktu lalu ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta dalam acara uji nyali, atau banyak yang bergidik ngeri ketika menyaksikan tingkah polah seorang laki-laki yang kerasukan karena melanggar pantangan untuk tidak mengencingi pohon besar. Dan masih sangat banyak lagi kesaksian lain yang senada. Sampai-sampai banyak kalangan yang menghimbau agar tayangan-tayangan yang berbau mistis dan sejenisnya dienyahkan dari layar kaca. Padahal program-program tersebut memiliki segmen pasar yang cukup menjanjikan terlihat dari semakin menjamurnya program sejenis dan banyaknya pemasang iklan yang masuk.
Perdebatan mengenai makhluk halus sebenarnya bukan masalah yang baru di Indonesia, bahkan di dunia. Tulisan-tulisan maupun kajian ilmiah tentang makhluk gaib ini telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terutama kalangan Antropolog, sebut saja Malinowski dengan etnografi Suku Trobriannya yang menyangkutkan makhluk halus dengan perdagangan Kula, atau kerelaan orang Jawa untuk hidup berdampingan dengan memedi (makhluk halus) seperti yang ditulis Clifford Geert the Religion of Javanya. Bahkan sebagian orang Indonesiapun telah melakukan perhatian terhadapnya meski mayoritas belum masuk dalam tataran ilmiah. Karena pada umumnya lebih suka berpolemik tentang ada atau tidaknya para hantu tersebut di dunia ini.
Dunia makhluk halus sering dianggap sebagai masalah kuno dan sebagai sisa-sisa kebudayaan kuno. Karena hampir pada setiap penjelasannya sulit diterima dengan akal sehat. Seperti kemampuan mereka menembus tembok tebal, kemampuan menghilang tanpa bekas, masuk ke dalam tubuh seorang dukun, atau kemampuan bertengger di puncak dahan. Anggapan yang tersebut dikarenakan akal pikiran manusia belum mampu menembus fenomena alam yang demikian dalam. Untuk menjelaskan fenomena tersebut sangat dibutuhkan pemahaman sosial budaya secara kontekstual dan spiritual yang baik. Hal ini sebagai akibat dari selalu terpenjaranya manusia ke dalam paham materialisme yang sering menjerumuskan..
Dari kacamata budaya kita bisa melihat bahwa makhluk halus memiliki posisi sosial yang cukup penting. Di dalam kisah penampakan makhluk halus, misalnya, sebenarnya sarat dengan makna dan fungsi sosial. Makhluk halus bukan hanya sekedar sesuatu makhluk jahat yang senang mengganggu manusia, suka merasuki tubuh manusia, hingga menyebabkan seseorang maninggal dunia atau bukan pula sesosok makhluk baik yang bisa dipekerjakan untuk membantu memperbaiki mobil penyok, membantu mengumpulkan kekayaan (mencuri uang), atau diperintah menjadi satpam di rumah. Meminjam istilah Geertz bahwa perilaku-perilaku tersebut menunjukkan sebuah kemenangan manusia atas alam sehingga manusia bisa berbuat seenak perutnya sendiri.
Di luar masalah itu, kalau dicermati secara seksama kish-kisah penampakan para mahluk halus selalu memiliki pola yang sama yaitu selalu berkaitan dengan tempat sepi, gelap, kotor, dihuni oleh jenis-jenis makhluk tertentu, serta selalu mengganggu orang-orang yang nakal maupun iseng.. Dari kondisi tersebut bisa dijelaskan bahwa paling tidak ada dua posisi strategis makhluk halus dalam kedudukan sosial manusia. Pertama adalah sebagai alat rekonstruksi sosial. Kehidupan manusia masa lalu berusaha dihadirkan kembali melalui peristiwa-peristiwa yang sangat unik. Kita mungkin pernah meyaksikan atau mendengar sebuah benteng perjuangan, pabrik gula yang tidak berfungsi, atau sebuah rumah tua yang dijadikan tempat tinggal para makhluk halus Londo. Dimana pada waktu-waktu tertentu para makhluk tersebut menyambangi manusia yang kebetulan melintas didekatnya dengan membawa atribut keLondoannya. Atau barangkali kita juga tidak pernah mendengar bahwa ada drakula maupun vampir yang berkeliaran di wilayah Indonesia. Belum pernah juga ada hantu pocong yang bergentayangan di Amerika. Sehingga dapat dikatakan bahwa makhluk halus memiliki wilayah sosial tertentu yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat setempat. Dengan kata lain bahwa hantu-hantu yang ada merupakan ciptaan dari masyarakat yang mendiaminya. Di kompleks candi Borobudur pada malam-malam tertentu orang akan mudah menemui hantu uwil-uwil (bala tentara Budha), di sekitar kali Code kita akan mudah menemui cerita tentang hantu Lampor (iring-iringan pasukan berkuda), atau di tempat bekas terjadi kecelakaan akan beredar cerita tangisan yang sangat menyayat hati pada malam-malam tertentu.
Kedua adalah sebagai alat kontrol sosial. Keeksistensian para hantu saat ini juga sangat tergantung dari peran masyarakat. Masyarakat merasa perlu menjaga kehidupan mahkluk halus karena membutuhkan peran mereka dalam menjaga keseimbangan sistem-sistem nilai yang berlaku. Terutama pada saat ini ketika sudah banyak sekali pranata-pranata dan nilai-nilai sosial yang dilanggar manusia. masyarakat perlu membentenginya agar kerusakan yang terjadi paling tidak bisa dihambat. Merebaknya kasus prostitusi di berbagai wilayah di Indonesia berusaha disindir oleh masyarakat dengan menghadirkan makhluk halus yang bernama kuntilanak. Diamana kuntilanak divisualisaikan sebagai sesosok wanita yang sangat cantik dan menggairahkan berjalan sendirian di tempat yang sepi kemudian serta merta berubah menjadi nenek-nenek reyot ketika hendak diajak berbuat zina seorang lelaki. Atau upaya masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan sebuah hutan dilakukan dengan menghembuskan sebuah makhluk penunggu yang mendiami hutan tersebut dan akan marah apabila akan ditebang.
Banyak orang yang mengingkari keberadaan makhluk tersebut, namun banyak pula yang mempercayai bahwa makhluk halus benar-benar ada. Pada saat ini melalui pengkisahan kembali terhadap peristiwa-peristiwa perjumpaan dengan para makhluk halus, atau melalui pemvisualisasian dalam berbagai media elektronik, wacana makhluk halus mulai berusaha diungkapkan kembali. Betapa banyaknya media massa di Indonesia yang menyediakan ruang khusus untuk pemuatan berbagai opini tentang makhluk halus. Secara sadar maupun tidak media-media massa ini ikut berperan dalam terjaganya sistem masyarakat yang ideal.
Terlepas dari nilai-nilai dan hukum-hukum yang berlaku dalam Agama. Bahwa keberadaan makhluk halus disekitar kehidupan manusia karena memang makhluk-makhluk tersebut sengaja diciptakan oleh masyarakat. Keberadaan makhluk halus merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Penciptaan ini dimaksudkan agar tatanan nilai dan norma yang ideal pada suatu masyarakat kelangsungannya dapat terjamin dengan baik. Dengan kata lain makhluk halus diciptakan sebagai rambu-rambu sosial yang wajib di taati oleh siapapun.
Akhirnya, maraknya tayangan mistis di berbagai media massa sebaiknya disikapi dengan pemahaman sosial yang baik dan dilandasi dengan keimanan yang kuat agar kita tidak terjerumus kedalam kesesatan. Informasi yang muntahkan media massa sebaiknya tidak dimaknai sebagai ajakan untuk berbuat menyimpang dari kodrat alam. Dengan ketebalan iman kepada Yang Kholiq kita tidak perlu khawatir akan dibodohi oleh tayangan-tayangan itu. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Bangga Jadi Miskin


Negaranya Orang-orang Miskin
Ramai-ramai mengaku sebagai rakyat miskin akhir-akhir ini telah menjadi sebuah trend baru pada masyarakat Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari dilaksanakannya beberapa kebijakan pemeritah yang berkaitan dengan bantuan langsung kepada warga miskin. Seperti JPS, P2KP, PDMDKE, Raskin, dan yang tidak boleh dilupakan adalah, tentu saja, PKPS BBM. Hebatnya, trend seperti ini tidak hanya melanda masyarakat awam saja. Para pejabat dan anggota dewanpun tidak mau ketinggalan. Bedanya, kalau masyarakat secara terang-terangan mengaku sebagai orang miskin. Sedangkan para pejabat/ para anggota dewan….anda tahu sendiri seperti apa mereka.
Melalui proyek-proyek kemiskinan, pemerintah sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu ingin mengentaskan kemiskinan. Namun dalam praktiknya ternyata selalu menimbulkan permasalahan baru. Bukan karena konsep proyeknya yang lemah, tetapi karena mentalitas aktor yang terlibat di dalamnya yang perlu dibenahi. Adalah, kuatnya cengkeraman mentalitas kemiskinan yang menguasai pribadi masing-masing aktor, mulai dari tingkat pusat, daerah, pelaksana sampai dengan penerima. Setali tiga uang. Semuanya masih pada level mencari keuntungan pribadi.
Di tingkat dewan ada kesan tidak mau tahu, sedang di tingkat pusat pejabat masih dikuasai oleh sifat Egosentris. Untuk proyek-proyek yang basah ada kecenderungan rebutan proyek sementara untuk yang kering saling melempar tanggungjawab. Di tingkat pelaksanapun tidak jauh berbeda. Penyunatan anggaran selalu saja terjadi di sana-sini. Yang paling menarik adalah pada tingkat masyarakat sasaran. Semua orang berteriak sebagai orang yang paling tepat mendapatkan bantuan.
Kenyataan tersebut sekigus mematahkan asumsi banyak kalangan yang menganggap bahwa kesalahan pada setiap proyek kemiskin hanya terdapat pada salah satu pihak, pada tingkat pusat, daerah, atau penerima, atau pendata saja. Kenyataannya, semua pihak memiliki peran yang sangat besar dalam proses kegagalan proyek kemiskinan. Jangan disalahkan kalau kemudian banyak muncul permasalahan salah pendataan, tidak tepat sasaran, berkurangnya angka proyek, penggelembungan jumlah masyarakat miskin, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.
Artinya bahwa kebijakan-kebijakan kemiskinan tersebut justru sering menciptakan lahan korupsi baru bagi para pejabat dan menimbulkan perselisihan sesama masyarakat sasaran. Jangan disalahkan pula apabila sampai detik ini program-program tersebut tidak pernah terlihat hasilnya. Dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama saja. Jumlah masyarakat miskin tetap saja fantastis, korupsi tetap merajalela, orang-orang miskin dengan yang tidak miskin masih saja rebutan raskin, sebagian masyarakat lainnya malahan saling bergontokan untuk mendapatkan kartu BLT. Demikian juga para anggota dewan dan pejabat masih saja bancakan uang pajak.
Berkaca kembali pada salah satu contoh kasus yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan pelik yakni Raskin. Kita ingat beberapa tahun yang lalu ketika BKKBN mengadakan pendataan terhadap masyarakat, kebanyakan enggan didata sebagai orang-orang miskin. Pada saat itu label miskin masih dianggap sebagai sebuah penghinaan dan memalukan. Kini, kejadian berbalik 180 derajat. Masyarakat yang semula menolak dikatakan sebagai orang miskin sontak memproklamirkan diri sebagai rakyat miskin ketika mengetahui ada jatah beras 20kg perbulan. Akibatnya, berbagai gejolak di tingkat masyarakatpun tidak bisa dihindari. Sebagai sesuatu yang wajar kalau kemudian pemerintah desa/kelurahan memunculkan kebijakan penyaluran Raskin yang sangat jauh dari juklak dan juknis proyek. Raskin berubah nama menjadi Rasta (Beras dibagi Rata), Raskin yang seharusnya diterima gakin saja dengan terpaksa dibagi merata kepada semua warga, harga melonjak menjadi Rp.2000 per kilogram, raskin dijual ke warung, penggiliran penerima raskin, sampai dengan berkurangnya jumlah raskin menjadi hanya 2kg perbulan.
Masih ada lagi yang lebih menghebohkan yakni ketika pemerintah memutuskan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai cepek perbulan. Baru beberapa hari dana tersebut cair kurban jiwa dan harta benda sudah berjatuhan. Beberapa orang meninggal dunia, terjadi perusakan balai desa, bentrokan antara aparat dengan massa, pembacokan terhadap perangkat desa. Kejadian seperti ini semakin mengukuhkan bahwa status miskin menjadi salah satu pilihan yang paling diminati pada saat ini.
Perebutan status menjadi masyarakat miskinpun kini tidak sekedar basa-basi lagi. Masyarakat sudah berani secara terang-terangan meneriakkan bahwa mereka adalah masyarakat “miskin” yang sangat layak mendapatkan BLT meskipun disaku celananya tersembul telepon selular. Merekapun berani mengorbankan fasilitas umum demi sebuah status yaitu Miskin. Para pejabat dan anggota dewanpun masih merasa perlu meminta kenaikan tunjangan serta gaji. Tidak masyarakatnya, tidak pejabatnya, atau dewannya semua sama saja. Masih menganggap diri mereka miskin.
Dunia memang sudah terbalik. Ketika dulu orang-orang menjadi sangat malu kalau dikatakan sebagai orang miskin. Kini, miskin menjadi salah satu predikat yang paling dicari. Inilah potret sebagian masyarakat kita dewasa ini. Bedanya, orang-orang “miskin” saat ini tidak lagi mengenakan pakaian kumal dan sobek-sobek, namun mereka telah menghiasi tubuhnya dengan berbagai perhiasan emas, mengendarai motor, memiliki sopir pribadi, menenteng handphone, bahkan mengenakan jas dan dasi.
Kemiskinan yang dialami bangsa Indonesia saat ini bukan lagi pada masalah kemiskinan perekonomian. Kemiskinan yang sedang kita hadapi bersama adalah kemiskinan budaya dan perilaku. Orang yang memiliki berbagai jenis perhiasan di tangan ternyata masih tetap saja miskin. Mereka rela “menjual” kehormatannya demi mendapatkan sebuah status yang disebut miskin. Anggota dewan yang sudah memiliki banyak uangpun masih mengemis kepada pemerintah untuk ngelencer kesana-kemari. Pejabat yang sudah bergaji tinggi pun masih harus mencuri uang rakyat.
Orang-orang yang miskin secara mental seperti ini lebih berbahaya bila dibandingkan dengan orang-orang yang miskin secara ekonomi. Hanya dengan pemberangusan mental merekalah semua permasalahan kemiskinan bisa dipecahkan. Berapapun banyaknya pemerintah mencanangkan program-program kemiskinan, berapapun besarnya gaji yang diberikan kepada pejabat, dan berapapun besarnya tunjangan yang dipasrahkan untuk anggota dewan pasti tidak akan pernah cukup, berapapun tingginya bantuan yang dikucurkan kepada masyarakat, selamanya mereka tetap akan mengaku sebagai orang miskin.
Sehingga, pembenahan mental terhadap seluruh lapisan masyarakat mutlak diperlukan. Pada tahap awal harus dimulai dari para pejabat dan anggota dewan lebih dahulu. Pejabat dan dewan harus menjadi orang pertama yang bebas dari mentalitas miskin. Dalam hal ini tidak ada kata lain selain penegakan sistem hukum di Indonesia agar menyentuh semua kalangan. Jangan hanya menerapkan kekuatan hukum bagi pemalsu kartu BLT saja. Namun hukum juga harus mampu menjerat pejabat dan dewan yang mencuri uang rakyat.
Kedua, dengan meninjau kembali proyek-proyek kemiskinan yang sedang maupun akan dilaksanakan. Sudah saatnya pemerintah menghilangkan proyek-proyek yang sifatnya bantuan langsung bagi masyarakat. Bantuan-bantuan seperti itu hanya akan menambah masalah baru. Bantuan-bantuan langsung sebaiknya dialihkan ke dalam subsidi pendidikan, kesehatan, pelatihan kewirausahaan, pengembangan SDM, maupun kucuran kredit lunak bagi usaha kecil dan masyarakat miskin. Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang menginginkan masyarakat menjadi mandiri.
Kalaupun pemerintah masih juga kebelet ingin memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, sebaiknya diberikan terbatas pada janda/duda tua yang tidak mampu serta tidak ada keluarga yang menanggungnya. Hal ini sekaligus untuk mengakhiri perdebatan yang berkaitan dengan kriteria miskin yang selama ini selalu menggelayuti masyarakat kita.
Sebenarnya beberapa poin di atas sudah sering diusulkan banyak pakar di negeri ini dan kedengarannya sangat basi. Sayangnya meskipun sudah basi, belum juga ada perhatian yang serius dari pemerintah. Semuanya kembali lagi pada kesungguhan niat pemerintah untuk menghapus kemiskinan dari bumi Indonesia. Hal ini sekaligus sebagai langkah berikutnya, yakni agar pemerintah selalu mendengar masukan dari masyarakat. Bukankah Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut, yang berarti kita harus banyak mendengar dan sedikit bicara.
Apabila beberapa hal di atas tidak bisa dijalankan maka masih ada satu alternatif terakhir. Yaitu, orang-orang kaya yang masih merasa miskin kita doakan bersama-sama saja supaya benar-benar menjadi melarat sehingga mereka benar-benar layak menerima bantuan. Mau dicoba?