12/2/06

Bangga Jadi Miskin


Negaranya Orang-orang Miskin
Ramai-ramai mengaku sebagai rakyat miskin akhir-akhir ini telah menjadi sebuah trend baru pada masyarakat Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari dilaksanakannya beberapa kebijakan pemeritah yang berkaitan dengan bantuan langsung kepada warga miskin. Seperti JPS, P2KP, PDMDKE, Raskin, dan yang tidak boleh dilupakan adalah, tentu saja, PKPS BBM. Hebatnya, trend seperti ini tidak hanya melanda masyarakat awam saja. Para pejabat dan anggota dewanpun tidak mau ketinggalan. Bedanya, kalau masyarakat secara terang-terangan mengaku sebagai orang miskin. Sedangkan para pejabat/ para anggota dewan….anda tahu sendiri seperti apa mereka.
Melalui proyek-proyek kemiskinan, pemerintah sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, yaitu ingin mengentaskan kemiskinan. Namun dalam praktiknya ternyata selalu menimbulkan permasalahan baru. Bukan karena konsep proyeknya yang lemah, tetapi karena mentalitas aktor yang terlibat di dalamnya yang perlu dibenahi. Adalah, kuatnya cengkeraman mentalitas kemiskinan yang menguasai pribadi masing-masing aktor, mulai dari tingkat pusat, daerah, pelaksana sampai dengan penerima. Setali tiga uang. Semuanya masih pada level mencari keuntungan pribadi.
Di tingkat dewan ada kesan tidak mau tahu, sedang di tingkat pusat pejabat masih dikuasai oleh sifat Egosentris. Untuk proyek-proyek yang basah ada kecenderungan rebutan proyek sementara untuk yang kering saling melempar tanggungjawab. Di tingkat pelaksanapun tidak jauh berbeda. Penyunatan anggaran selalu saja terjadi di sana-sini. Yang paling menarik adalah pada tingkat masyarakat sasaran. Semua orang berteriak sebagai orang yang paling tepat mendapatkan bantuan.
Kenyataan tersebut sekigus mematahkan asumsi banyak kalangan yang menganggap bahwa kesalahan pada setiap proyek kemiskin hanya terdapat pada salah satu pihak, pada tingkat pusat, daerah, atau penerima, atau pendata saja. Kenyataannya, semua pihak memiliki peran yang sangat besar dalam proses kegagalan proyek kemiskinan. Jangan disalahkan kalau kemudian banyak muncul permasalahan salah pendataan, tidak tepat sasaran, berkurangnya angka proyek, penggelembungan jumlah masyarakat miskin, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya.
Artinya bahwa kebijakan-kebijakan kemiskinan tersebut justru sering menciptakan lahan korupsi baru bagi para pejabat dan menimbulkan perselisihan sesama masyarakat sasaran. Jangan disalahkan pula apabila sampai detik ini program-program tersebut tidak pernah terlihat hasilnya. Dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama saja. Jumlah masyarakat miskin tetap saja fantastis, korupsi tetap merajalela, orang-orang miskin dengan yang tidak miskin masih saja rebutan raskin, sebagian masyarakat lainnya malahan saling bergontokan untuk mendapatkan kartu BLT. Demikian juga para anggota dewan dan pejabat masih saja bancakan uang pajak.
Berkaca kembali pada salah satu contoh kasus yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan pelik yakni Raskin. Kita ingat beberapa tahun yang lalu ketika BKKBN mengadakan pendataan terhadap masyarakat, kebanyakan enggan didata sebagai orang-orang miskin. Pada saat itu label miskin masih dianggap sebagai sebuah penghinaan dan memalukan. Kini, kejadian berbalik 180 derajat. Masyarakat yang semula menolak dikatakan sebagai orang miskin sontak memproklamirkan diri sebagai rakyat miskin ketika mengetahui ada jatah beras 20kg perbulan. Akibatnya, berbagai gejolak di tingkat masyarakatpun tidak bisa dihindari. Sebagai sesuatu yang wajar kalau kemudian pemerintah desa/kelurahan memunculkan kebijakan penyaluran Raskin yang sangat jauh dari juklak dan juknis proyek. Raskin berubah nama menjadi Rasta (Beras dibagi Rata), Raskin yang seharusnya diterima gakin saja dengan terpaksa dibagi merata kepada semua warga, harga melonjak menjadi Rp.2000 per kilogram, raskin dijual ke warung, penggiliran penerima raskin, sampai dengan berkurangnya jumlah raskin menjadi hanya 2kg perbulan.
Masih ada lagi yang lebih menghebohkan yakni ketika pemerintah memutuskan untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai cepek perbulan. Baru beberapa hari dana tersebut cair kurban jiwa dan harta benda sudah berjatuhan. Beberapa orang meninggal dunia, terjadi perusakan balai desa, bentrokan antara aparat dengan massa, pembacokan terhadap perangkat desa. Kejadian seperti ini semakin mengukuhkan bahwa status miskin menjadi salah satu pilihan yang paling diminati pada saat ini.
Perebutan status menjadi masyarakat miskinpun kini tidak sekedar basa-basi lagi. Masyarakat sudah berani secara terang-terangan meneriakkan bahwa mereka adalah masyarakat “miskin” yang sangat layak mendapatkan BLT meskipun disaku celananya tersembul telepon selular. Merekapun berani mengorbankan fasilitas umum demi sebuah status yaitu Miskin. Para pejabat dan anggota dewanpun masih merasa perlu meminta kenaikan tunjangan serta gaji. Tidak masyarakatnya, tidak pejabatnya, atau dewannya semua sama saja. Masih menganggap diri mereka miskin.
Dunia memang sudah terbalik. Ketika dulu orang-orang menjadi sangat malu kalau dikatakan sebagai orang miskin. Kini, miskin menjadi salah satu predikat yang paling dicari. Inilah potret sebagian masyarakat kita dewasa ini. Bedanya, orang-orang “miskin” saat ini tidak lagi mengenakan pakaian kumal dan sobek-sobek, namun mereka telah menghiasi tubuhnya dengan berbagai perhiasan emas, mengendarai motor, memiliki sopir pribadi, menenteng handphone, bahkan mengenakan jas dan dasi.
Kemiskinan yang dialami bangsa Indonesia saat ini bukan lagi pada masalah kemiskinan perekonomian. Kemiskinan yang sedang kita hadapi bersama adalah kemiskinan budaya dan perilaku. Orang yang memiliki berbagai jenis perhiasan di tangan ternyata masih tetap saja miskin. Mereka rela “menjual” kehormatannya demi mendapatkan sebuah status yang disebut miskin. Anggota dewan yang sudah memiliki banyak uangpun masih mengemis kepada pemerintah untuk ngelencer kesana-kemari. Pejabat yang sudah bergaji tinggi pun masih harus mencuri uang rakyat.
Orang-orang yang miskin secara mental seperti ini lebih berbahaya bila dibandingkan dengan orang-orang yang miskin secara ekonomi. Hanya dengan pemberangusan mental merekalah semua permasalahan kemiskinan bisa dipecahkan. Berapapun banyaknya pemerintah mencanangkan program-program kemiskinan, berapapun besarnya gaji yang diberikan kepada pejabat, dan berapapun besarnya tunjangan yang dipasrahkan untuk anggota dewan pasti tidak akan pernah cukup, berapapun tingginya bantuan yang dikucurkan kepada masyarakat, selamanya mereka tetap akan mengaku sebagai orang miskin.
Sehingga, pembenahan mental terhadap seluruh lapisan masyarakat mutlak diperlukan. Pada tahap awal harus dimulai dari para pejabat dan anggota dewan lebih dahulu. Pejabat dan dewan harus menjadi orang pertama yang bebas dari mentalitas miskin. Dalam hal ini tidak ada kata lain selain penegakan sistem hukum di Indonesia agar menyentuh semua kalangan. Jangan hanya menerapkan kekuatan hukum bagi pemalsu kartu BLT saja. Namun hukum juga harus mampu menjerat pejabat dan dewan yang mencuri uang rakyat.
Kedua, dengan meninjau kembali proyek-proyek kemiskinan yang sedang maupun akan dilaksanakan. Sudah saatnya pemerintah menghilangkan proyek-proyek yang sifatnya bantuan langsung bagi masyarakat. Bantuan-bantuan seperti itu hanya akan menambah masalah baru. Bantuan-bantuan langsung sebaiknya dialihkan ke dalam subsidi pendidikan, kesehatan, pelatihan kewirausahaan, pengembangan SDM, maupun kucuran kredit lunak bagi usaha kecil dan masyarakat miskin. Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang menginginkan masyarakat menjadi mandiri.
Kalaupun pemerintah masih juga kebelet ingin memberikan bantuan langsung kepada masyarakat, sebaiknya diberikan terbatas pada janda/duda tua yang tidak mampu serta tidak ada keluarga yang menanggungnya. Hal ini sekaligus untuk mengakhiri perdebatan yang berkaitan dengan kriteria miskin yang selama ini selalu menggelayuti masyarakat kita.
Sebenarnya beberapa poin di atas sudah sering diusulkan banyak pakar di negeri ini dan kedengarannya sangat basi. Sayangnya meskipun sudah basi, belum juga ada perhatian yang serius dari pemerintah. Semuanya kembali lagi pada kesungguhan niat pemerintah untuk menghapus kemiskinan dari bumi Indonesia. Hal ini sekaligus sebagai langkah berikutnya, yakni agar pemerintah selalu mendengar masukan dari masyarakat. Bukankah Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut, yang berarti kita harus banyak mendengar dan sedikit bicara.
Apabila beberapa hal di atas tidak bisa dijalankan maka masih ada satu alternatif terakhir. Yaitu, orang-orang kaya yang masih merasa miskin kita doakan bersama-sama saja supaya benar-benar menjadi melarat sehingga mereka benar-benar layak menerima bantuan. Mau dicoba?

1 comment:

sunaryo adhiatmoko said...

semoga makin banyak yg berpihak pada org kecil