12/2/06

Potensi Sampah


(dari )Membuang (menjadi) Mengelola Sampah
Persoalan sampah semakin hari terasa semakin kuat mencengkeram bangsa kita. Mulai dari permasalahan pembuangannya yang tidak teratur, pemilihan lokasi TPA/TPS yang tidak tepat, perilaku masyarakat yang sangat tidak peduli, sampai dengan minimnya perangkat hukum khusus yang mengaturnya. Semua kondisi di atas pada akhirnya akan berujung pada satu hal yakni semakin menggunungnya tumpukan sampah di berbagai wilayah di Indonesia. Munculnya beragam permasalahan yang diakibatkan oleh sampah tersebut sebenarnya hanya berawal dari satu kesalahan yakni selama ini kita memandang keberadaan sampah sebagai barang yang musti dibuang.
Di manapun tempatnya, apakah di kota besar atau kecil, di desa maupun di kota, orang tua maupun anak-anak hampir semua memperlakukan sampah secara seragam dengan menjadikannya sebagai barang yang berbahaya dan harus segera dilenyapkan. TPA/TPS seolah-olah sudah menjadi tujuan akhir yang tidak boleh di utak-atik lagi, semua sampah larinya harus ke sana. Menjadikan TPA/TPS sebagai tujuan akhir sampah adalah sah-sah saja, namun kita juga tidak boleh lupa bahwa model penanganan seperti ini tidak jarang menimbulkan permasalahan baru. Selain menimbulkan pencemaran lingkungan dan udara yang luar biasa, sebagai sumber penyakit bagi masyarakat sekitarnya, juga sering dijadikan tempat membuang orok. Bahkan timbunan sampah yang sudah menggunung bisa sama berbahayanya dengan bencana tanah longsor yang bisa merenggut nyawa manusia (kejadian di Leuwigajah beberapa waktu lalu). Kondisi tersebut akan semakin menjadi-jadi kalau sistem pengelolaannya dengan open dumping. Padahal sebagian besar kota Indonesia menggunakan model seperti itu. Jadi….tidak bisa disalahkan kalau kemudian warga Bojong menolak sampah dari Jakarta meskipun di penanganannya tidak akan menggunakan model itu.
Persepsi masyarakat terhadap buruknya sampah dan bencana-bencana yang menyertainya selayaknya sudah tidak boleh ada lagi saat ini. Cukuplah sudah bangsa Indonesia merasakan dahsyatnya bencana alam saja. Untuk itu mulai sekarang marilah kita mencoba untuk mengubah sikap kita dalam menghadapi sampah. Konsep membuang sampah yang selama ini menguasai benak kita perlu segera diubah. Persepsi masyarakat yang memaknai sampah sebagai barang yang tidak berguna seyogyanya segera dikikis habis. Kita harus mengubah konsep membuang sampah menjadi memanfaatkan atau mengelola sampah. Artinya, sampah bukan untuk dibuang, tetapi musti diperlakukan layaknya barang tambang lainnya. Seperti minyak mentah yang kelihatan sangat kotor dan menjijikkan, namun setelah melalui sebuah proses pengolahan akhirnya bisa berubah menjadi premium, solar, lilin, aspal dan sebagainya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Demikian pula halnya dengan sampah yang terlihat seperti onggokan sumber penyakit kalau diolah dengan baik akan menghasilkan pupuk organik yang sangat bermanfaat bagi alam dan kesehatan manusia.
Kedua, pemerintah, ulama dan juga aktifis lingkungan perlu mengubah slogan-slogan terhadap sampah. Tidak lagi mengampanyekan “Buanglah Sampah pada tempatnya” atau “Jangan Membuang sampah Sembarangan”, namun harus mengubahnya menjadi “Mari Memanfaatkan Sampah dengan Baik” atau “Sampah Sumber Kesehatan Alami” dan lain sebagainya. Disamping itu slogan-slogan yang berupa larangan maupun ancaman sebaiknya diganti menjadi himbauan serta ajakan. Meskipun terkesan sangat sepele namun slogan-slogan seperti itu sangat mengena di hati masyarakat dan mudah diingat.
Ketiga, penyediaan tempat dan piranti pengelolaan sampah yang terpadu. Alternatif ini seyogyanya dimiliki oleh wilayah-wilayah perkotaan padat penduduk dan berlahan sempit. Teknis pengelolaannya bisa melibatkan masyarakat secara langsung dengan sistem gotong royong maupun sistem upahan. Yang ditekankan disini jangan sampai masyarakat hanya diajarkan cara membuang sampah saja, namun mereka juga mesti memiliki andil serta tanggung jawab dalam pengelolaan sampah sampai tahap akhir. Yang terjadi selama ini adalah tidak adanya keterlibatan dari masyarakat. Dimana masyarakat diperlakukan dengan sangat manja, setiap bulan hanya diwajibkan membayar sejumlah uang restribusi maka urusan sampah dari depan pintu rumah sampai di TPA/TPS menjadi tanggung jawab pemerintah. Model pengelolan seperti itu kalau dijalankan terus akan menciptakan tabiat dan perilaku yang tidak baik bagi bangsa ini. Masyarakat tidak akan pernah mau berpikir dan belajar untuk menangani sampah secara baik. Mereka selalu mengandalkan uluran tangan dari pemerintah. Sehingga selamanya tidak akan peduli dengan bahayanya sampah yang dihasilkannya setiap hari.
Terakhir, perlu segera disusun Undang-undang ataupun peraturan hukum lainnya tentang pengelolaan sampah secara khusus. Kebanyakan peraturan-peraturan yang ada, khususnya perda-perda, tentang penanganan sampah tidak berdiri sendiri. Bahkan ada daerah-daerah tertentu yang tidak memilikinya. Keberadaan Naskah Akademis RUU Pengelolaan Sampah serta masukan dari berbagai LSM tidak boleh diremehkan dan bisa dijadikan salah satu masukan bagi peraturan yang akan disusun. Semua hal di atas tentunya bukan dimaksudkan untuk mengejar penghargaan-penghargaan adakn kebersihan, namun harus dikembalikan pada tujuan utama yaitu perubahan pemahaman masyarakat terhadap sampah yang pada akhirnya akan menuju pada sebuah masyarakat mandiri yang mampu mengelola sampah tanpa gejolak. Sehingga dana yang mencapai miliaran rupiah atau lahan pembuangan sampah yang menembus puluhan hektar bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Semoga dengan pendekatan seperti ini sepuluh tahun kedepan anak cucu bangsa Indonesia tidak mengalami hidup di Republik Sampah lagi. Insya Allah.

No comments: