12/2/06

Pornografi: Rendahnya Penghargaan Terhadap Kyai


Pornografi: Rendahnya Penghargaan Terhadap Kyai
Minimnya penghargaan masyarakat dan pemerintah terhadap peran kyai/ulama merupakan sumber utama dari penyakit masyarakat yang semakin menggelontor kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Peranan yang sangat vital dari seorang ulama atau kyai tidak mendapatkan sebuah imbal balik yang layak. Imbalan berupa pemenuhan kebutuhan materi dan jaminan keamanan tidak sedikitpun menyentuh aspek kehidupan mereka. Bisa dikatakan bahwa semua yang didapatkan para tokoh agama ini dapat dikatakan jauh dari sebutan layak. Kita tidak boleh memungkiri bahwa terpenuhinya kebutuhan hidup saat ini merupakan satu hal yang sangat vital bagi kelangsungan perjuangan mereka.
Seperti halnya dengan makhluk hidup lainnya, kyai/ulama juga memerlukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis yang tidak dapat dikesampingkan. Ketika kebutuhan biologis para kyai belum terpenuhi maka selama itu pulalah mereka akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya terlebih dahulu baru kemudian memikirkan kepentingan umat. Disadari atau tidak bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut mutlak diperlukan. Siapa orangnya yang mau berjuang untuk kepentingan masyarakat sementara keluarganya terancam keamanannya dan perutnya masih merasa kelaparan.
Kondisi seperti ini bisa mendorong terpecahnya fokus perjuangan kyai. Pada satu sisi dia harus berjuang demi kepentingan umatnya namun di sisi lain diapun harus berjuang demi kelangsungan hidup keluarganya. Terbelahnya konsentrasi perjuangan tersebut mengakibatkan munculnya ketidaktotalan mereka dalam melaksanakan jihadfisabilillah, yaitu membangun moral bangsa. Peran pembentukan mental masyarakat yang seharusnya berada dipundaknya menjadi terberaikan. Akibat yang paling dirasakan masyarakat kemudian adalah tidak maksimalnya fungsi kontrol kyai. Dengan kata lain bahwa para kyai belum berhasil melaksanakan tugas mereka sebagai guru bangsa.
Ketidakmampuan kyai/ulama ini kemudian menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka menjadi turun. Hal yang tidak bisa dihindari selanjutnya adalah munculnya “pembangkangan” terhadap fatwa kyai/ulama di sana-sini. Perkataan dan seruan kyai sudah bukan lagi menjadi obat penyembuh dikala sakit, bukan pula air penyejuk dikala terik mentari, dan tidak pula mampu menjadi payung disaat hujan. Hampir-hampir tidak terasakan lagi keberadaannya, ada atau tidak ada seorang kyai kondisinya tetap saja sama. Bahkan seringkali mereka dianggap sebagai duri dalam daging.
Berbeda dengan puluhan tahun silam, dimana peran kyai masih sangat mutlak dibutuhkan. Apa yang disabdakan akan segera diikuti oleh masyarakat. Karena pada saat itu pekerjaan seorang kyai bisa terfokus pada pembenahan mental dan peribadatan kepada Tuhan. Kyai tidak perlu repot-repot memikirkan kelangsungan hidup mereka dan keluarganya. Kebutuhan sehari-hari dengan sendirinya telah terpenuhi berkat pemberian masyarakat secara cuma-cuma. Ibaratnya ketika kyai ingin makan tidak perlu menanam padi, ingin pergi ke luar daerah tidak perlu membeli bensin, ingin menjenguk kerabatnya yang sakit tidak usah membeli oleh-oleh, semuanya tersedia dengan sendirinya dan tentu saja tidak mengeluarkan biaya.
Berbagai fasilitas yang didapatkan para kyai pada masa itu memang sangat layak mereka terima. Mereka memperolehnya tidak dengan mudah karena harus melalui suatu proses yang sangat sulit. Mulai dari nyantrik ke berbagai pesantren ,yang memakan waktu sampai belasan tahun, hingga membuka wilayah yang terpencil untuk dijadikan sebuah pusat peradaban baru. Berbagai pengalaman hidup yang lengkap dengan amalan-amalan ketauhidan dipelajari selama menjadi santri di berbagai pondok, untuk kemudian diterapkan pada saat berhadapan langsung dengan masyarakat. Predikat kyai/ulama yang disandangnya ini menunjukkan kematangan berfikir dan berserah diri kepada Tuhan. Tidak seperti jaman sekarang, banyak orang yang menyebut dirinya kyai namun tidak faham dengan apa yang yang harus dikerjakannya sebagai kyai.
Masyarakat pada masa itu sangat merasakan keberadaan para kyai dan ulama. Segala persoalan hidup bangsa saat itu mampu dipecahkan dengan gemilang berkat bantuan para kyai. Mulai dari urusan keluarga, peribadahan, sampai pada hubungan kemasyarakatan. Sosok kyai menjadi sosok yang sangat sentral dalam penyelesaian berbagai masalah yang berkembang di masyarakat. Bahkan bisa dikatakan tidak ada masalah yang tidak mampu diselesaikan kyai/ulama.
Kini ketika jaman telah mengalami pergeseran dari tradisional menuju modern peran kyai-ulama terasa semakin terpinggirkan. Banyak contoh kasus yang terjadi, sebut saja perpecahan yang terjadi dalam muktamar NU beberapa waktu yang lalu. Peran kyai sudah tidak lagi bisa dijadikan pengayom dan tempat berkeluh kesahnya masyarakat. Apalagi para kyai kini banyak yang memposisikan diri sebagai pendukung bendera-bendera tertentu. Tidak lagi murni membawa kepentingan masyarakat umum. Hal ini hanya menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin menurun dan terus menurun.
Apakah semua murni kesalahan para kyai? Tentu saja bukan. Pergulatan untuk bertahan hidup di jaman yang semakin sulit membuat mereka harus mengambil pilihan-pilihan yang sulit. Pada satu sisi para kyai dituntut harus mampu menjaga integritasnya, namun disisi lain merekapun harus tetap berjuang agar hidupnya tidak kacau. Bukan sesuatu yang salah kalau mereka kemudian merasa perlu untuk duduk di belakang bendera tertentu. Posisi ini membuat tingkat kehidupannya menjadi sedikit lebih layak atau paling tidak mendapat kesempatan yang lebih baik meskipun harus rela mengorbankan nama baiknya.
Turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para kyai menyebabkan renggangnya hubungan keduanya. Sehingga fatwa-fatwa yang dahulu merupakan sabda pandita sabda ratu kini menjadi lolongan anjing yang kelaparan. Masyarakat enggan mendengar apalagi mentaati apa yang dikatakan kyai-ulama. Perkataan para kyai dianggap sebagai sampah yang hanya mengotori saja. Masyarakat menganggap Fatwa-fatwa kyai bukan lagi ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan melainkan hanya sebuah pesanan dari kalangan tertentu. Label maju tak gentar membela yang bayar semakin melekat pada diri kyai.
Disamping itu, rendahnya minat masyarakat terhadap para kyai belakangan ini juga disebabkan oleh tidak mampunya kyai/ulama menjelaskan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat modern. Petuah-petuah dari kyai sudah dianggap out of date. Setiap mengeluarkan pernyataan bukannya ketenteramkan yang didapat, namun justru keruwetan yang dipetik. Peran sebagai pengayom masyarakat tidak lagi bisa disandangnya karena penyampaiannya yang serba mengambang dan tidak jelas.
Seorang kyai kini dituntut untuk tidak bertele-tele dalam menjelaskan permasalahan umat. Solusi-solusi yang praktis dan mudah dilaksanakan sangat dibutuhkan. Kyai/ulama dituntut untuk mampu menjelaskan sebuah jalan untuk meghindari stress, menumbuhkan semangat bagi orang yang putus asa, bagaimana menjadikan seorang insan yang berjiwa mandiri, serta bagaimana melakukan hubungan dengan Tuhan secara efektif. Sudah tidak jamannya lagi kalau terlalu sibuk memperdebatkan jumlah rekaat sholat tarawih, perbedaan penggunaan doa qunut, tradisi tahlilan, permulaan puasa, atau pelaksanaan Idul fitri. Meski demikian tentunya penjelasan tersebut harus tetap dalam kerangka hukum yang jelas. Penjelasan yang rumit dan tidak masuk akal hanya akan menjadi sebuah tumpukan buku teori yang tidak akan pernah ada orang yang mau membaca.
***
Mau tidak mau kyai kini harus belajar lagi bagaimana menjadikan urusan yang sulit menjadi mudah dilaksanakan. Menafsirkan ayat-ayat yang bias menjadi sebuah paparan pengetahuan yang mudah dimengerti semua lapisan masyarakat. Semua ini bukan perkara yang mudah bagi kyai apalagi bagi mereka yang memiliki latar belakang kerangka berpikir tradisional. Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta pemerintah. Pemerintah hendaknya memfasilitasi para kyai agar mampu membaca fenomena-fenomena kehidupan modern. Misalnya dengan melalui pengenalan terhadap media komunikasi, tehnologi, ilmu psikologi dan tentu saja tafsir-tafsir kitab dari tokoh-tokoh modern. Pemberian kemampuan berkenaan dengan kehidupan modern ini akan mampu menempatkan seorang kyai/ulama menjadi tokoh yang menguasai hukum-hukum syar’i sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan jaman.
Apabila kemampuan kyai/ulama sudah seperti diatas maka Insya Allah masyarakat Indonesia akan kembali memperhitungkan keberadaan mereka. Secara otomatis pula penghargaan yang tinggi dari masyarakat akan datang dengan sendirinya. Artinya bahwa laju penyakit moral bangsa ini bisa dikurangi bahkan mungkin diredam. Hal ini tentu saja membutuhkan kerelaan dari semua pihak terutama kyai apakah mereka mau (berubah), pemerintah (apakah mau merubah) dan tentunya masyarakat (apakah mau diubah).
Jogja, awal 2005

No comments: