12/2/06

PRA untuk DBD


Masyarakat dan pemerintah kembali menjerit-jerit lagi menghadapi serangan penyakit Demam Berdarah (DB). Padahal serangan seperti ini sudah memiliki jadwal reguler tiap tahunnya. Anehnya DB tidak pernah mendapatkan penanganan yang tepat setiap kali muncul. Penangannya selalu saja berkisar pada kegiatan Fogging, opname dan pemberian obat. Tindakan tersebut sebenarnya bukanlah metode yang ampuh untuk mengatasi penyakit DBD untuk jangka waktu yang panjang.
Tindakan-tindakan medis semacam itu hanya cocok untuk kepentingan sesaat semata. Untuk jangka panjang justru merugikan pemerintah sendiri, karena hal tersebut akan semakin melanggengkan sifat ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Selain itu dalam jangka panjang masyarakat juga tidak akan pernah mau berpikir bagaimana melakukan tindakan pencegahan dan penanganan sendiri. Sayangnya, meski cara-cara tersebut terbukti tidak cukup ampuh namun masih saja selalu dipaksakan untuk dilakukan.
Siapapun tahu bahwa selama ini masyarakat selalu dijadikan sebagai obyek dari pemerintah. Ketika muncul serangan Demam Berdarah masyarakat harus buru-buru mendatangi pusat-pusat kesehatan, harus opname, harus ini harus itu dan sebagainya. Akibatnya semakin lama masyarakat menjadi semakin terbiasa untuk berposisi sebagai sasaran tembak, diam dan tidak mempunyai kesempatan untuk berkreasi. Mereka selalu diposisikan menjadi pasien yang tidak boleh menolak segala yang dikatakan oleh dokter. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep pembangunan bangsa yang mandiri yang selalu didengung-dengungkan pemerintah. Tidak ada salahnya apabila pemerintah mencoba menggunakan metode lain yang lebih berwawasan kemasyarakatan. Kenapa kita tidak mencoba membalik paradigma ini. Yakni menempatkan masyarakat sebagai ujung tombak pemberantasan DBD.
Untuk itulah kiranya sangat penting bagi kalangan yang merasa dirinya sebagai ahli DB bisa menahan diri sebentar. Tidak tergesa-gesa mengambil keputusan-keputusan dan tindakan yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Posisi masyarakat mulai sekarang harus diubah dari peran sebagai Obyek menjadi subyek. Sementara itu para ahli dari luar masyarakat sebaiknya cukup berperan sebagai fasilitator dan pendamping.
Salah satu alternatif yang bisa dikembangkan pemerintah adalah melalui pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal). Yakni mengubah paradigma production centered development menjadi people centered development. Pendekatan ini tidak bisa berdiri sendiri, namun merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang erat. PRA menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan secara langsung. Tujuannya adalah memposisikan masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan sekaligus sebagai pelaksana program. Fungsinya adalah untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian berdasarkan pengamatan, interpretasi dan pemikiran masyarakat setempat.
Dalam pemberantasan terhadap Demam Berdarah ada banyak cara yang bisa dilakukan. Pertama adalah menggali pemikiran masyarakat tentang berbagal hal yang berkaitan dengan penyakit DB melalui metode Diagram Venn. Semua hal yang berhubungan dengan DB akan mampu terekam di sini, mulai dari penyebab-penyebabnya, sifat penyakitnya, cara pengobatannya, cara penularannya, sampai dengan pengetahuan terhadap obat-obat lokal maupun obat modern yang biasa digunakan masyarakat setempat. Diagram Venn akan sangat berguna bagi kalangan petugas kesehatan untuk menganalisa pengetahuan masyarakat terhadap DB. Sehingga hal-hal yang tidak sesuai dengan penanganan DB pada lain waktu bisa ditindak lanjuti.
Kedua Mapping, masyarakat diajak untuk menggambarkan peta wilayah dan peta sosial yang ada di lingkungan mereka masing-masing. Metode ini akan menghasilkan sebuah peta fisik maupun sosial yang sangat jelas. Nantinya akan berguna bagi pengisolasian ataupun penanganan secara khusus tempat-tempat yang dicurigai sebagai sumber penyebaran DBD. Dalam waktu relatif singkat sarang nyamuk, tempat nongkrong, pusat kesehatan, pusat layanan umum, letak rumah (bidan, Jumantik, dokter), letak rumah penderita DB akan ditemukan.
Setelah dua kegiatan di belakang meja dilakukan maka kini masyarakat diajak untuk melakukan transect walk. Kegiatan ini berfungsi untuk mengetahui secara defacto wilayah-wilayah mana saja yang berpotensi menjadi penyebab muncul dan berkembangnya DB. Sehingga masyarakat secara tepat mereka akan mengetahui wilayah-wilayah yang sebelumnya pernah mereka gambarkan dalam teknik mapping. Hal ini sangat penting karena peserta transect akan melihat secara langsung apa yang ada di sekelilingnya. Dan mereka kemudian bisa mendiskusikan bersama dengan warga lain tentang berbagai hal yang mereka temui. Hingga akan diambil suatu tindakan yang tepat apabila ditemukan sesuatu yang menarik.
Kelima, menyusun Aktifitas Harian, masyarakat (peserta diskusi) diajak untuk menuliskan kegiatan rutin yang biasa mereka dilakukan. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi yang akurat berkaitan dengan waktu-waktu luang mereka. Hal ini akan berguna untuk mencari waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak warga. Terakhir adalah Skala Prioritas atau matrix ranking, seperti kegiatan lainnya bahwa teknik ini juga melibatkan sekelompok orang. Dalam matrix ranking masyarakat diajak untuk membuat urutan prioritas kegiatan yang akan mereka lakukan untuk memberantas penyakit DB dalam jangka waktu tertentu. Dalam langkah ini masyarakat akan melakukan perdebatan yang terbuka, jujur, obyetif, dan demokratis mengenai rencana apa saja yang akan mereka lakukan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya campur tangan dari pihak luar.
Dengan menggunakan model pendekatan yang pertama kali dikembangkan oleh Chambers ini diharapkan masyarakat akan mampu melakukan apa yang dianggap terbaik untuk mereka sendiri. Kegiatan ini akan dapat berjalan dengan baik karena semua kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Setelah menyelesaikan satu tahapan PRA maka masyarakat akan dengan mudah mendeteksi, mencegah dan mengatasi penyakit DBD yang sangat menakutkan dengan sendirinya. Pendekatan ini tidak layak dilakukan untuk tujuan pendek dan sesaat. Apalagi untuk tujuan formalitas dan sekedar untuk menghabiskan sisa anggaran saja.
Menariknya dari pendekatan ini adalah bahwa masyarakat tidak merasa digurui. Merekapun diajak untuk memikirkan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan penanganan DB sesuai dengan potensi lokal yang dimilikinya. Peran orang luar dalam kegiatan ini sangat kecil sekali, sehingga masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab penuh terhadap pogram yang mereka munculkan sendiri. Akibatnya masyarakat benar-benar merasa diuwongke dan merekapun dengan sangat antusias mensukseskan program –program tersebut.
Model penanganan penyakit jenis ini dibutuhkan kerjasama lintas sektoral yang kuat. Seperti Dinkes, Dinas Kehutanan, Kepolisian, Perikanan, Pertanian, Ulama, Tokoh Masyarakat, Kecamatan, LSM, Peneliti, Pekerja sosial, dan yang paling penting adalah masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat perlu dimaksimalkan dalam upaya pencegahan maupun pengobatan. Karena disadari atau tidak masyarakatlah yang berkepentingan langsung. Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tidak bisa dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang mengaku ahli DB. Karena terkadang pengetahuan seperti ini mampu mengatasi berbagai permasalahan dengan tepat. Biasanya pengetahuan tersebut berupa kebiasaan-kebiasaan tradisional yang sangat arif.




No comments: