12/2/06

Hantu: Kontrol Sosial

Hantu: Alat Kontrol Sosial
Perbincangan masyarakat dan para ahli mengenai maraknya tayangan mistik (khususnya makhluk halus) di berbagai media massa di Indonesia kian hari-kian terasakan. Tua muda, besar kecil, laki perempuan ramai memperbincangkan bagaimana ngerinya wajah seorang perempuan tanpa raut muka yang beberapa waktu lalu ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta dalam acara uji nyali, atau banyak yang bergidik ngeri ketika menyaksikan tingkah polah seorang laki-laki yang kerasukan karena melanggar pantangan untuk tidak mengencingi pohon besar. Dan masih sangat banyak lagi kesaksian lain yang senada. Sampai-sampai banyak kalangan yang menghimbau agar tayangan-tayangan yang berbau mistis dan sejenisnya dienyahkan dari layar kaca. Padahal program-program tersebut memiliki segmen pasar yang cukup menjanjikan terlihat dari semakin menjamurnya program sejenis dan banyaknya pemasang iklan yang masuk.
Perdebatan mengenai makhluk halus sebenarnya bukan masalah yang baru di Indonesia, bahkan di dunia. Tulisan-tulisan maupun kajian ilmiah tentang makhluk gaib ini telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terutama kalangan Antropolog, sebut saja Malinowski dengan etnografi Suku Trobriannya yang menyangkutkan makhluk halus dengan perdagangan Kula, atau kerelaan orang Jawa untuk hidup berdampingan dengan memedi (makhluk halus) seperti yang ditulis Clifford Geert the Religion of Javanya. Bahkan sebagian orang Indonesiapun telah melakukan perhatian terhadapnya meski mayoritas belum masuk dalam tataran ilmiah. Karena pada umumnya lebih suka berpolemik tentang ada atau tidaknya para hantu tersebut di dunia ini.
Dunia makhluk halus sering dianggap sebagai masalah kuno dan sebagai sisa-sisa kebudayaan kuno. Karena hampir pada setiap penjelasannya sulit diterima dengan akal sehat. Seperti kemampuan mereka menembus tembok tebal, kemampuan menghilang tanpa bekas, masuk ke dalam tubuh seorang dukun, atau kemampuan bertengger di puncak dahan. Anggapan yang tersebut dikarenakan akal pikiran manusia belum mampu menembus fenomena alam yang demikian dalam. Untuk menjelaskan fenomena tersebut sangat dibutuhkan pemahaman sosial budaya secara kontekstual dan spiritual yang baik. Hal ini sebagai akibat dari selalu terpenjaranya manusia ke dalam paham materialisme yang sering menjerumuskan..
Dari kacamata budaya kita bisa melihat bahwa makhluk halus memiliki posisi sosial yang cukup penting. Di dalam kisah penampakan makhluk halus, misalnya, sebenarnya sarat dengan makna dan fungsi sosial. Makhluk halus bukan hanya sekedar sesuatu makhluk jahat yang senang mengganggu manusia, suka merasuki tubuh manusia, hingga menyebabkan seseorang maninggal dunia atau bukan pula sesosok makhluk baik yang bisa dipekerjakan untuk membantu memperbaiki mobil penyok, membantu mengumpulkan kekayaan (mencuri uang), atau diperintah menjadi satpam di rumah. Meminjam istilah Geertz bahwa perilaku-perilaku tersebut menunjukkan sebuah kemenangan manusia atas alam sehingga manusia bisa berbuat seenak perutnya sendiri.
Di luar masalah itu, kalau dicermati secara seksama kish-kisah penampakan para mahluk halus selalu memiliki pola yang sama yaitu selalu berkaitan dengan tempat sepi, gelap, kotor, dihuni oleh jenis-jenis makhluk tertentu, serta selalu mengganggu orang-orang yang nakal maupun iseng.. Dari kondisi tersebut bisa dijelaskan bahwa paling tidak ada dua posisi strategis makhluk halus dalam kedudukan sosial manusia. Pertama adalah sebagai alat rekonstruksi sosial. Kehidupan manusia masa lalu berusaha dihadirkan kembali melalui peristiwa-peristiwa yang sangat unik. Kita mungkin pernah meyaksikan atau mendengar sebuah benteng perjuangan, pabrik gula yang tidak berfungsi, atau sebuah rumah tua yang dijadikan tempat tinggal para makhluk halus Londo. Dimana pada waktu-waktu tertentu para makhluk tersebut menyambangi manusia yang kebetulan melintas didekatnya dengan membawa atribut keLondoannya. Atau barangkali kita juga tidak pernah mendengar bahwa ada drakula maupun vampir yang berkeliaran di wilayah Indonesia. Belum pernah juga ada hantu pocong yang bergentayangan di Amerika. Sehingga dapat dikatakan bahwa makhluk halus memiliki wilayah sosial tertentu yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat setempat. Dengan kata lain bahwa hantu-hantu yang ada merupakan ciptaan dari masyarakat yang mendiaminya. Di kompleks candi Borobudur pada malam-malam tertentu orang akan mudah menemui hantu uwil-uwil (bala tentara Budha), di sekitar kali Code kita akan mudah menemui cerita tentang hantu Lampor (iring-iringan pasukan berkuda), atau di tempat bekas terjadi kecelakaan akan beredar cerita tangisan yang sangat menyayat hati pada malam-malam tertentu.
Kedua adalah sebagai alat kontrol sosial. Keeksistensian para hantu saat ini juga sangat tergantung dari peran masyarakat. Masyarakat merasa perlu menjaga kehidupan mahkluk halus karena membutuhkan peran mereka dalam menjaga keseimbangan sistem-sistem nilai yang berlaku. Terutama pada saat ini ketika sudah banyak sekali pranata-pranata dan nilai-nilai sosial yang dilanggar manusia. masyarakat perlu membentenginya agar kerusakan yang terjadi paling tidak bisa dihambat. Merebaknya kasus prostitusi di berbagai wilayah di Indonesia berusaha disindir oleh masyarakat dengan menghadirkan makhluk halus yang bernama kuntilanak. Diamana kuntilanak divisualisaikan sebagai sesosok wanita yang sangat cantik dan menggairahkan berjalan sendirian di tempat yang sepi kemudian serta merta berubah menjadi nenek-nenek reyot ketika hendak diajak berbuat zina seorang lelaki. Atau upaya masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan sebuah hutan dilakukan dengan menghembuskan sebuah makhluk penunggu yang mendiami hutan tersebut dan akan marah apabila akan ditebang.
Banyak orang yang mengingkari keberadaan makhluk tersebut, namun banyak pula yang mempercayai bahwa makhluk halus benar-benar ada. Pada saat ini melalui pengkisahan kembali terhadap peristiwa-peristiwa perjumpaan dengan para makhluk halus, atau melalui pemvisualisasian dalam berbagai media elektronik, wacana makhluk halus mulai berusaha diungkapkan kembali. Betapa banyaknya media massa di Indonesia yang menyediakan ruang khusus untuk pemuatan berbagai opini tentang makhluk halus. Secara sadar maupun tidak media-media massa ini ikut berperan dalam terjaganya sistem masyarakat yang ideal.
Terlepas dari nilai-nilai dan hukum-hukum yang berlaku dalam Agama. Bahwa keberadaan makhluk halus disekitar kehidupan manusia karena memang makhluk-makhluk tersebut sengaja diciptakan oleh masyarakat. Keberadaan makhluk halus merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Penciptaan ini dimaksudkan agar tatanan nilai dan norma yang ideal pada suatu masyarakat kelangsungannya dapat terjamin dengan baik. Dengan kata lain makhluk halus diciptakan sebagai rambu-rambu sosial yang wajib di taati oleh siapapun.
Akhirnya, maraknya tayangan mistis di berbagai media massa sebaiknya disikapi dengan pemahaman sosial yang baik dan dilandasi dengan keimanan yang kuat agar kita tidak terjerumus kedalam kesesatan. Informasi yang muntahkan media massa sebaiknya tidak dimaknai sebagai ajakan untuk berbuat menyimpang dari kodrat alam. Dengan ketebalan iman kepada Yang Kholiq kita tidak perlu khawatir akan dibodohi oleh tayangan-tayangan itu. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.

No comments: