12/2/06

Petani, Nasib



Hingga memasuki usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 61 ini nasib petani kita tidak pernah berubah. Selalu melayani kepentingan orang lain. Pada jaman kemerdekaan dulu petani menjadi penyedia bahan makanan untuk para pejuang demi mengusir penjajah dan setiap panen harus menyetor sebagian padi kepada pemerintah Jepang. Kemudian setelah kemerdekaan berhasil direbut mereka dijadikan sebagai penopang program swasembada beras dan menjadi aktor penderita dalam berbagai kebijakan ekspor beras pemerintah. Kini di jaman reformasi masih juga “menyediakan” dirinya untuk kepentingan orang kota dan pengusaha.

Meski demikian para petani tidak pernah merasa menanamkan budinya. Mereka rela melakukan semuanya asalkan kelangsungan hidup bangsa dan negara terwujud. Sampai-sampai mereka tidak sempat memakan padi yang ditanam disawahnya. Sayangnya, perjuangan tanpa pamrih dan tidak kenal lelah ini tidak pernah mendapatkan penghargaan yang layak. Petani selalu saja menjadi kaum yang terpinggirkan. Selalu menjadi bahan olok-olokan, bahkan bersama nelayan sering dituding sebagai pemasok angka kemiskinan nasional terbesar. Dan karena kemiskinannya ini pulalah mereka selalu dijadikan sebagai komoditas pihak-pihak tertentu.

Saya jadi teringat dengan kejadian beberapa puluh tahun silam ketika pemerintah mencanangkan Revolusi Hijau atau program Bimas. Pada saat itu petani diagung-agungkan oleh pemerintah karena menjadi aktor utama dalam pembangunan bangsa. Tanpa peran serta petani maka negara Indonesia tidak akan ada artinya, begitu kira-kira bunyi propaganda pemerintah saat itu. Petani selalu dikatakan sebagai pahlawan pangannya bangsa. Semuanya itu tidak lain adalah agar para petani mau menuruti kemauan pemerintah untuk menyukseskan program panca usaha tani. Petanipun akhirnya termakan juga oleh hasutan ini. Akibatnya, sedikit demi sedikit para petani mulai aktif melaksanakan kebijakan baru dari pemerintah dan mulai meninggalkan kebiasaan lama dalam bertani mereka. Hasilnya sungguh luar biasa, dengan program itu pemerintah mampu mencapai surplus beras bahkan mampu menjualnya ke luar negeri.

Melihat hasil pertaniannya yang sangat menggiurkan tersebut kemudian para petani berlomba-lomba untuk menggenjot produksinya masing-masing. Berbagai carapun dilakukan, menggunakan berbagai jenis pupuk dan pestisida secara tidak beraturan dan berlebihan. Hal ini karena tingginya semangat swasembada pangan dan tidak adanya pemahaman yang tepat terhadap sistem pertanian yang baru tersebut. Sampai akhirnya datanglah berbagai malapetaka di dalam pola pertanian mereka. Berbagai hama tanaman baru bermunculan, tikus meraja lela, wereng menjamur, dan panenpun sering mengalami kegagalan. Yang tidak kalah dahsyatnya adalah petani telah mengalami kecanduan yang luar biasa terhadap produk-produk pabrikan. Ketergantungan tersebut hadir pada saat para petani benar-benar telah meninggalkan semua pola pertanian tradisional. Yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika petani benar-benar telah mabok kepayang dengan berbagai suplemen dari pabrik tersebut pemerintah justru menaikkan harga jual pupuk setinggi langit dan sulitnya mendapatkan barang-barang tersebut di pasaran.

Subsidi untuk pupuk petani tidak bisa ditambah karena alasan menipisnya kekayaan negara, dana sedang dipakai untuk membayar utang-utang luar negeri, untuk menyumbang konglomerat yang banknya kekurangan modal. Petani benar-benar sekarat. Nyatanya pemerintah tidak segera turun tangan, malahan sibuk memperjuangkan nasib para pengusaha dan pemilik modal besar. Bahkan pemerintah berani melukai hati para petani. lagi dengan mengimpor beras dikala petani sedang akan menikmati harga beras yang merambat naik. Dengan entengnya mengatakan kalau persediaan pangan nasional bakal segera habis padahal beberapa minggu lagi akan tiba masa panen raya.

* * *

Seperti tersadarkan atau karena keterpaksaan mendadak munculah kebijakan pemerintah yang cukup mengejutkan yaitu dicanangkannya Revitalisasi Pertanian pada Juni 2005 silam, juga pencanangan Go Organik 2010, dan juga terbitnya Inpres No 1 tahun 2006 dan Perpres No 5 tahun 2006 tentang Biodiesel. Katanya, program-program tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki nasib para petani di Indonesia. Para petani akan diajak pemerintah untuk meningkatkan kualitas serta hasil pertaniannya dengan berbasiskan masyarakat dan lingkungan, menciptakan daya saing hasil pertanian di luar negeri, yang ujung-ujungnya akan memperbaiki kondisi sosial ekonomi petani khususnya.

Kita berharap semoga saja program-program ini bukan sekedar wacana saja. Saat ini tantangan terberat dari pemerintah sebenarnya terletak pada perilaku masyarakat petani kita yang sudah terpola dan terbiasa dengan hasil yang cepat diraih. Padahal program-program seperti itu kalau tidak salah memerlukan waktu beberapa tahun untuk mencapai hasil yang diharapkan. Pada tahun-tahun pertama akan penuh dengan perjuangan bahkan mungkin juga akrab dengan kegagalan. Kira-kira sudah siapkah pemerintah menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Kejadian seperti revolusi hijau dahulu yang hanya menciptakan ketergantungan mutlak dari petani jangan sampai terulang kembali. Kesiapan tenaga ahli, masyarakat sasaran, sarana serta infrastruktur pendukungnya harus benar-benar optimal. Kini semuanya kembali lagi kepada pemerintah. Apakah pemerintah memiliki komitmen untuk memperjuangkan nasib petani atau tidak? Ataukah pemerintah hanya berusaha untuk memenuhi tuntutan kalangan tertentu dan kembali akan lepas tangan ketika terjadi pengalaman yang buruk? Meski demikian, agaknya kita juga perlu mendukung dan mengawasi program tersebut agar berjalan pada lintasan yang tepat.







No comments: